Jumat, 16 April 2010

KRITIK YANG TIDAK WAJAR DAPAT MERUSAK KEPERCAYAAN DIRI SENDIRI

Dengan cara bagaimana jiwa manusia asal-mulanya dapat dimasuki rasa takut dikritik, tidak ada yang tahu, tapi nampak satu hal yang jelas sehubungan dengan itu, yakni bahwa rasa takut ini menghinggapi jiwa manusia dalam bentuk yang parah sekali. Dr. Napoleon Hill (dalam majalah psikologi popular, 1980) menyatakan bahwa cenderung untuk berkata bahwa takut dikritik termasuk salah satu rasa takut yang terutama ini, termasuk watak manusia yang mendorongnya bukan saja untuk merampas harta benda orang lain, tapi juga hendak membenarkan perbuatannya itu dengan mengkritik akhlak orang lain. Ada fakta bahwa seorang pencuri akan mengkritik orang yang telah menjadi korbannya. Juga kaum poltitisi dalam memperebutkan pengaruh, bukan dengan memperlihatkan kebajikan dan keahlian mereka sendiri, tapi dengan mencoba membenarkan nama lawan-lawan politiknya. Para pembuat pakaian atau industri mobil telah memanfaatkan dengan lihainya sifat atau rasa takut dikritik. Para pengusaha itu tiap saat mengeluarkan model yang baru, dan konsumen mau saja untuk membelinya sebab mereka tidak ingin memakai baju atau mengendarai mobil yang tidak termasuk model terakhir. Mereka pada hakekatnya takut dikritik sebagai ketinggalan jaman.
Takut pada kritikan mengakibatkan seseorang kehilangan inisiatif, menghancurkan daya khayal, membatasi individualitas, menghilangkan rasa percaya pada diri sendiri dan seterusnya. Kritik-kritik yang dilontarkan orang tua pada anaknya sering melukai jiwa anak tersebut dengan hebatnya. Kritik merupakan salah satu hal yang terlalu sering harus diterima orang. Setiap orang pernah mengalami betapa pedasnya kritik dari orang lain, terlepas dari apakah kritik itu tepat atau tidak. Anggota-anggota keluarga yang paling dekat sering merupakan orang yang melontarkan kritik yang paling kejam. Orang tua yang menanamkan rasa inferioritas (menganggap diri sendiri lebih rendah dari orang lain) ke dalam pikiran dan jiwa si anak dengan melancarkan kritikan-kritikan yang tidak perlu kepadanya. Para majikan mengerti akhlak manusia, dapat mendorong tenaga-tenaga yang bekerja dibawah pimpinannya untuk bekerja sebaik-baiknya, bukan dengan melempar kritikan, tapi dengan anjuran-anjuran yang konstruktif. Orang tua dapat mencapai hasil yang sama dengan anak-anaknya sendiri. Kritik akan membekaskan rasa takut atau rasa jengkel dalam hati manusia, akan tetapi tidak mungkin bias menanamkan rasa cinta atau hubungan baik.

Gejala-gejala Takut pada Kritik
Rasa takut ini hamper sama di mana-mana, universal sifatnya, seperti rasa takut akan menjadi miskin, dan akibat-akibatnya pun merusak kemampuan pribadi, karena menghancurkan inisiatif serta tidak mendorong orang untuk memakai daya khayalnya. Gejala yang terutama diperlihatkan rasa takut ini adalah sebagai berikut:

1. Merasa tidak memiliki harga diri
Umumnya gejala ini nampak karena orang yang bersangkutan gelisah dalam tingkah lakunya, malu dalam percakapan dan malu pula untuk menemui orang yang tidak dikenalnya, gerak tangan dan anggota badannya tidak teratur, pandangan matanya tidak mantap. Gerak-gerak yang tidak terkendalikan. Tidak ada control atas suaranya, gelisah jika bertemu dengan orang lain, gerak geriknya tidak karuan, ingatannya kurang tajam.
2. Kepribadian
Tidak dapat member keputusan yang tegas, tidak memiliki daya tarik dan kemampuan untuk menyatakan pendapatnya dengan jelas, selalu menyimpang dari pokok persoalannya, tidak mau menghadapinya dengan terus terang. Cepat-cepat setuju dengan pendapat orang lain tanpa mempertimbangkannya terlebih dahulu.
3. Komplek inferioritas
Kebiasaan untuk mengucapkan rasa puas dengan kata-kata atas hasil-hasilnya sendiri, sebagai suatu cara untuk menutupi rasa inferioritasnya itu. Memakai kata-kata yang muluk-muluk untuk mempesonakan orang lain (sering tanpa pengetahuan yang benar makna dari apa yang diucapkannya itu). Meniru-niru orang lain dalam cara berpakaian, berkata dan bertingkah laku. Membangga-banggakan diri tentang hasil-hasil yang telah dicapainya (dalam khayalannya). Ini kadang-kadang member kesan bahwa ia superior lebih dari pada orang lain.
4. Pemborosan
Kebiasaan untuk tidak mau terlihat kalah dengan tetangga dalam segala hal, sehingga melakukan pengeluaran-pengeluaran diluar batas kemampuannya.
5. Tidak ada inisiatif
Gagal dalam usaha menggunakan kesempatan-kesempatan baik untuk mencapai kemajuan, takut untuk mengucapkan pendiriannya sendiri, tidak percaya pada pendapat sendiri, member jawaban yang menyimpang dari pokok persoalan yang sebenarnya atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan atasannya, ragu-ragu tabiatnya, suka menipu baik dengan kata-kata maupun dengan tindakan tindakan.
6. Tidak ada ambisi
Malas dalam berpikir dan berbuat, tidak mempunyai ketegasan, terlalu mudah dipengaruhi orang lain, mempunyai kebiasaan untuk mengkritik orang lain di belakang orang itu dan memujinya kalau bertemu muka, kebiasaan untuk menerima kegagalan tanpa memprotes atau menghentikan suatu usaha jika mendapat perlawanan dari orang lain; curiga terhadap orang lain tanpa alas an, tidak bijaksana dalam kelakuan dan pembicaraan, tidak mau dipersalahkan jika membuat kesalahan.



Sumber:
Majalah Psikologi Populer, Dr. Napoleon Hill, Edisi bulan Desember, 1980.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar